(Oleh: Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)
Perjalanan kaum Syi'ah di negeri ini semakin jelas.
Dimulai ketika terjadi revolusi Iran yang mengantarkan ajaran atau (tepatnya
disebut) dîn (agama) Syi'ah menguasai Iran sebagai agama penguasa setelah
pemerintahan Reza Pahlevi runtuh. Setelah terjadi revolusi di Iran di
penghujung tahun 1979, mereka mulai menyebarkan ajaran mereka keseluruh negeri
Islam dengan mengatas-namakan dakwah Islam. Terutama ke negeri Indonesia yang
mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin.
Ada tiga faktor yang menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke
Indonesia. Yaitu:
Pertama, kaum Muslimin terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah.
Pertama, kaum Muslimin terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah.
Kedua, mayoritas
kaum Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafush Shâlih. Mereka
hanya sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman
pengamalan dan dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful Ummah
(generasi terbaik umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru
kepada al-Qur’ân dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada
satu metode yang akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang
shahîh (benar).
Ketiga, kebanyakan kaum Muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilâfiyah furû’iyyah (perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita dengar, para tokoh Islam di negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita dengan Syi'ah kecuali sekedar perbedaan furu’iyyah.
Dengan tiga sebab ini, Syi’ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin. Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan Daulah Islamiyah.[1] Padahal pada hakekatnya untuk menegakan Daulah Râfidhah.
Ketiga, kebanyakan kaum Muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilâfiyah furû’iyyah (perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita dengar, para tokoh Islam di negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita dengan Syi'ah kecuali sekedar perbedaan furu’iyyah.
Dengan tiga sebab ini, Syi’ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin. Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan Daulah Islamiyah.[1] Padahal pada hakekatnya untuk menegakan Daulah Râfidhah.
Mereka hendak menyebarkan dan mendakwahkan ajaran
mereka. Karena dalam pandangan mereka, tidak ada hukum Islam kecuali yang
diambil dari ajaran ini (Syi'ah) dan ditegakkan oleh mereka.
Khomaini, pemimpin mereka telah menulis beberapa
kitab. Tiga diantara kitab-kitab ini menjelaskan dengan gamblang kepada kita
tentang jati diri penulis dan para pengikutnya. Tiga kitab itu adalah:
1. Kitab Hukumâtul Islamiyah
2. Kitab Tahrîrul Wasîlah
3. Kitab Jihâdun Nafs atau dengan judul Jihâdul Akbar.
Dalam tiga kitab ini, khususnya dalam kitab Hukumâtul Islamiyah, Khomaini secara tegas tanpa taqiyyah menyatakan beberapa hal penting sebagai dasar pada agama mereka. Diantaranya dua hal yang sangat mendasar yaitu:
·
Tidak ada
hukum kecuali hukum Syi'ah. Jadi yang dimaksudkan dengan Hukumatul Islamiyah
adalah hukum Râfidhah.
·
Tidak ada
negeri islam kecuali yang ditegakkan oleh mereka.
Karena itu mereka menyeru agar kaum Muslimin mengikuti mereka. Berbagai upaya dilakukan, misalnya mengirimkan dai-dai ke seluruh negeri-negeri Islam atau dengan istilah pertukaran pelajar, atau cendekiawan, mempertemukan tokoh-tokoh mereka dengan tokoh-tokoh kaum Muslimin untuk mempersatukan Islam. Sebuah tanda tanya besar! Padahal yang diinginkan adalah agar kaum Muslimin mengikuti mereka.
Dalam kitab Hukumâtul Islamiyah juga, Khomaini dengan tegas mengatakan bahwa derajat imam-imam mereka lebih tinggi dari derajat para Nabi dan Rasul bahkan para Malaikat. Dalam kitab itu juga, Khomaini tidak mengenal Daulah Islamiyah kecuali yang ditegakkan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, adapun tiga khalifah sebelum Ali radhiyallâhu'anhu yaitu Abu Bakar radhiyallâhu'anhu, Umar radhiyallâhu'anhu, dan Utsman radhiyallâhu'anhu tidak dianggap sebagai kaum Muslimin.
Bahkan dalam kitab Jihâdul Akbar, Khomaini dengan
tegas melaknat sahabat agung, penulis wahyu, iparRasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam dan pamannya kaum Muslimin yaitu Mu’âwiyah bin Abi
Sufyânradhiyallâhu'anhu. Khomaini mengatakan bahwa Mu’âwiyah radhiyallâhu'anhu terlaknat
di dunia dan di akhirat dengan mendapat adzab di akhirat. Seolah-olah dengan
perkataannya ini, dia mengetahui perkara yang ghaib. Apakah Allâh Ta'âla telah
mengikat perjanjian dengan dia? Apakah Allâh Ta'âla telah memberikan berita
ghaib kepadanya? Sehingga dengan tegas dia berani mengucapkan perkataan ini?
Ini menunjukkan betapa kuat kebencian dan dendamnya yang membara kepada para pembesar kaum Muslimin yaitu para Sahabat radhiyallâhu'anhum. Oleh karena itu, ketika mengetahui perkataan-perkataan Khomaini dalam ketiga kitabnya tersebut, sebagian tokoh kaum Muslimin berbalik dan menyadari bahwa apa yang disuarakan “Persatuan dan Kesatuan Umat Islam”, “Tidak ada perbedaan antara mereka kecuali masalah furu’ saja”, semuanya adalah kebohongan.
Ini menunjukkan betapa kuat kebencian dan dendamnya yang membara kepada para pembesar kaum Muslimin yaitu para Sahabat radhiyallâhu'anhum. Oleh karena itu, ketika mengetahui perkataan-perkataan Khomaini dalam ketiga kitabnya tersebut, sebagian tokoh kaum Muslimin berbalik dan menyadari bahwa apa yang disuarakan “Persatuan dan Kesatuan Umat Islam”, “Tidak ada perbedaan antara mereka kecuali masalah furu’ saja”, semuanya adalah kebohongan.
AJARAN SYI’AH MASUK INDONESIA
Diawal tahun 1980, ajaran Syi’ah mulai masuk ke
Indonesia, walaupun (sebatas yang saya ketahui) ketika itu, pemerintah awalnya
menolak kedatangan tokoh-tokoh Syi'ah ke Indonesia untuk memperkenalkan ajaran
mereka. Tetapi ada beberapa tokoh di Indonesia ini yang sangat berjasa bagi
kelompok Rafidhah ini, diantaranya ada dua orang tokoh.
Keduanya berhasil meyakinkan pemerintah bahwa yang
datang ini bukanlah murid-murid Khomaini tetapi lawan-lawannya serta mereka
tidak membawa ajaran Khomaini. Pemerintah yang memang tidak paham ajaran Syi'ah[2],
akhirnya memberikan ijin. Sejak itu, masuklah ajaran Syi’ah ke negeri kita ini.
Secara pribadi, ketika itu, saya (penulis) telah
mengingatkan kepada sebagian ustadz dan kaum Muslimin bahwa kalau kita tidak
menjelaskan masalah Syi’ah ini kepada ummat, maka ajarannya akan berkembang dan
masuk ke berbagai lapisan masyarakat. Namun, sangat disesalkan, mereka tidak
mengindahkannya dan tetap menganggap perbedaan antara kita dengan Syi'ah hanya
dalam masalah furu’iyyah.
Padahal perbedaan kita dengan Syi'ah Râfidhah adalah
perbedaan ushûl (pokok-pokok agama) dan furu’ yang keduanya tidak mungkin
disatukan kecuali kalau salah satunya meninggalkan ajaran agamanya.
Di antara perbedaan ushûl (pokok) yang sangat mendasar
sekali yang kalau diyakini oleh seseorang maka akan menyebabkan seorang itu
murtad yaitu :
Pertama;
keyakinan mereka bahwa al-Quran yang ada ditangan kaum muslimin saat ini, yang
dibaca, yang dihafal dan diyakini sebagai kitabullâh yang diwahyukan kepada
hambaNya dan RasulNya Muhammadshallallâhu 'alaihi wasallam melalui
perantara Malaikat jibril 'alaihissalam , telah tidak asli
lagi.
Menurut Syi’ah, al-Qur’ân telah dirubah, atau
dikurangi oleh para sahabat yang dipimpin oleh tiga sahabat mulia yaitu Abu
Bakar, Umar, dan Utsmân dan para sahabat lainnya -radhiyallâhu'anhum-.
Keyakinan ini bisa menghancurkan seluruh isi al-Qur’ân, karena Allâh Ta'âla
telah berfirman :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran,
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya
(Qs al Hijr/15:9)
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya
(Qs al Hijr/15:9)
Sedangkan ajaran Râfidhah yang terus-menerus mereka katakan sampai saat ini, baik dengan lisan maupun tulisan bahwa al-Qur’ân yang asli adalah al-Qur’ân yang tiga kali lebih besar dan sangat berbeda dibandingkan al-Qur’ân yang ada ditangan kaum muslimin saat ini. Menurut mereka Al-Qur’an yang asli ini nanti akan dibawa oleh Imam Mahdi dan dinamakan Mushaf Fathimah.
Ini keyakinan mereka, walaupun sebagian mereka
mengingkarinya tetapi pengingkaran itu hanya omong kosong karena ini merupakan
taqiyah mereka. Kalau keyakinan ini diyakini oleh kaum muslimin maka tidak
diragukan lagi bahwa dia telah murtad, keluar dari agama Islam.
Kedua; Pengkafiran mutlak terhadap seluruh sahabat, seperti Abu Bakar as-Shiddîq radhiyallâhu'anhu, Umar al-Fârûq radhiyallâhu'anhu, Utsmân Dzunnûrain radhiyallâhu'anhu dan seluruh sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam kecuali beberapa sahabat yang jumlahnya sangat sedikit.
Meyakini ini berarti membantah isi al-Qur’ân yang
menyatakan keimanan dan kebesaran para sahabat serta keridhaan Allâh Ta'âla
terhadap mereka. Kalau seorang muslim dan muslimah meyakini keyakinan ini
(pengkafiran mutlak terhadap seluruh sahabat, kecuali beberapa sahabat) berarti
mereka telah murtad, keluar dari Islam.
Kedua keyakinan Râfidhah ini tidak mungkin disatukan dengan keyakinan yang ada dalam Islam. Artinya, tidak mungkin seorang muslim dan seorang Râfidhi (Penganut agama Syi’ah) bersatu, karena keyakinannya sangat berbeda. Ini berdasarkan dalil naqliyah dan aqliyah yang shahih yang memiliki ketegasan.
Oleh karena itu para ulama zaman dahulu menyatakan
bahwa orang yang paling bodoh terhadap dalil dalil naqliyah dan aqliyah serta
paling sesat jalannya diantara orang-orang mengaku Islam adalah Syi’ah atau
Rafidhah ini. Karena dengan tegas, mereka membenarkan apa yang didustakan
dengan dalil-dalil naqliyah sam’iyah (dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunnah)
dan juga yang didustakan oleh akal.
Sebaliknya, mereka mendustakan apa yang jelas dan terang
telah datang dari dalil-dalil naqliyah sam’iyah dan berdasarkan akal yang
shahih. (Minhâjus Sunnah, 1/8)
Ketiga, perbedaan ushûl lainnya adalah penyembahan terhadap manusia. Diantara orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam, yang pertama kali membangun kubur-kubur dan kubah-kubah adalah kaum Râfidhah. Mereka mengadakan peribadatan kepada selain Allâh Ta'âla. Padahal ini sangat diharamkan dalam Islam dan merupakan syirik besar.
Mewakili pengikutnya, Khomaini dalam bukunya
"Hukûmâtul Islâmiyah", halaman 52 mengatakan:
“Sesungguhnya sesuatu yang pasti dari madzhab kami
bahwa imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh
seorangpun, baik seorang rasul yang diutus maupun oleh malaikat yang dekat.”
Ini pernyataan tegas Khomaini. Ini menunjukkan sikap
ghuluw mereka terhadap para imam mereka, yang mereka klaim memiliki derajat
yang lebih tinggi dari para nabi dan rasul.
Dalam kitab yang sama, Khomaini menyatakan bahwa imam
mereka tidak pernah lupa dan lalai. Padahal ini adalah sifat Allâh Ta'âla,
karena hanya Allâh Ta'âla yang tidak pernah lupa dan lalai.
Allâh
Ta'âla berfirman :
Dan Rabbmu tidaklah lupa.
(Qs Maryam/19:64)
(Qs Maryam/19:64)
Ini merupakan salah satu bentuk penyembahan terhadap makhluk. Sikap ini tidak mungkin bisa disatukan dengan seorang muslim yang beraqidah shahih, yang bermanhaj dengan manhaj salaful ummah, yang hanya ruku’ dan sujud kepada Allâh Ta'âla, yang meminta pertolongan hanya kepada Allâh Ta'âla.
Oleh karena itu mereka membangun kuburan dan merekalah
yang pertama kali memasukkan penyembahan terhadap kubur ke dalam Islam,
membangunnya serta mendirikan kubah-kubah. Itulah beberapa ushûl (masalah
pokok) diantara banyak ushûl lainnya yang membedakan Râfidhah (Syi'ah) dengan
Islam sehingga tidak mungkin disatukan kecuali salah satunya meninggalkan
agamanya.
Masalah ini sering tidak diketahui oleh tokoh-tokoh
kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Karena Syi'ah selalu menyembunyikan
keyakinan-keyakinan mereka kepada orang-orang yang belum menjadi pengikut setia
mereka.
PERKEMBANGAN SYI’AH DI INDONESIA
Kurang lebih 30 tahun sudah berlalu sejak mulai
menancapkan kukunya di Indonesia, kini kaum Râfidhah terutama di negeri kita
ini telah berani memperlihatkan sebagian ajaran mereka secara terang-terangan.
Ini mereka lakukan secara bertahap. Cara-cara mereka dalam memberikan
pengajaran sangat halus dan awalnya tidak diketahui. Saya sebutkan diantaranya
:
Pertama, mereka
mengatasnamakan diri ahlul bait (keluarga) Nabi. Padahal pada hakekatnya,
mereka telah berbohong atas nama ahlul bait[3]. Kita
tahu bahwa kaum muslimin, terutama di Indonesia sangat mencintai ahlul bait
tetapi kecintaan yang tidak berdasarkan ilmu tentang siapa ahlul bait ? Apa
manhaj mereka ?
Kecintaan seperti ini bisa menyeret seseorang kepada
kultus dan al-ghuluw (berlebih-lebihan). Hal inilah yang diinginkan Syi'ah.
Oleh karena itu, orang yang menyerang Syi'ah selalu dituduh benci kepada ahlul
bait. Dan para pendahulu-pendahulu mereka seperti kaum Qarâmithah, Isma’iliyah,
Bathiniyah telah membuat beberapa ajaran yang
disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin untuk mendukung madzhab mereka.
Diantaranya adalah perayaaan maulid Nabi. Merekalah yang membuat acara ini
pertama kali, bukan Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi. Menisbatkan perayaan maulid
kepada Shalahuddin adalah penyimpangan, penipuan dalam sejarah.[4]
Cinta ahlul bait adalah merupakan keyakinan Islam.
Kita mencintai keluarga Nabi shallallâhu 'alaihi wasallamsesuai
dengan syariat Allâh dan Rasulnya, tidak ditambah dan tidak dikurangi, tidak
mengadakan penyembahan terhadap ahlul bait. Kita meyakini bahwa tidak ada yang
ma’shûm (bebas dari dosa dan kesalahan) kecuali Nabi yang mulia. Jadi kecintaan
kita tetap dalam batasan-batasan Islam bukan sebagaimana yang dikatakan oleh
Syi’ah.
Kedua, dalam
memberikan pengajaran, mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’ân, tafsir-tafsir
al-Qur’ân tidak melalui hadits atau sunnah. Karena mereka jauh sekali dari
sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bahkan mereka menolak
hadits. Bagaimana mungkin mereka bisa menerima hadits Bukhâri, Muslim dan
lain-lain sementara para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits ini dianggap
kafir ?! Mereka juga menvonis kufur kepada ahlus sunnah termasuk Bukhâri,
Muslim dan ulama ahli hadits lainnya. Oleh karena itu, mereka selalu memulainya
dengan tafsir dengan meruju’ ke kitab-kitab tafsir Syi'ah[5].
Melalui kajian tafsir-tafsir al-Qur’ân yang awalnya
biasa tapi lama-kelamaan menjadi aneh, karena seluruh ayat al-Qur’ân mereka
tafsirkan dengan penafsiran mereka. Mereka selalu membuka kajian tafsir
al-Qur’ân, tidak ada yang membuka kajian shahih Bukhâri kecuali untuk di hina,
di kritik dan selanjutnya di tolak. Mereka mulai menafsirkan, ini untuk
Ali radhiyallâhu'anhu dan siksaan ini untuk Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dan
lain sebagainya. Walaupun pada awalnya, mereka belum menyebut nama Abu Bakar,
Umar dan Utsmanradhiyallâhu'anhum karena ketiga shahabat ini
memiliki kedudukan tinggi di hati kaum muslimin termasuk Ali bin Abi
Thalib radhiyallâhu'anhu.
Syi’ah menempuh cara-cara kaum zindiq yaitu
meninggikan sebagian dan merendahkan sebagian dalam waktu yang bersamaan agar
mereka dapat menghancurkan secara keseluruhan. Mereka meninggikan Ali bin Abi
Thalib radhiyallâhu'anhu setinggi-tingginya sampai disamakan
dengan Rabbul a’lamin sementara mereka merendahkan Abu Bakar, Umar,
Utsman radhiyallâhu'anhum dan hampir seluruh para sahabatRasûlullâh dengan
serendah-rendahnya.
Ketiga,
mengkritik sebagian sahabat. Mereka mulai dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu kemudian
yang lainnya sampai hampir seluruh para sahabat. Untuk mencapai tujuan ini, di
negeri kita mereka memerlukan waktu bertahun-tahun. Sehingga saat ini, Abu
Bakar As-Shiddiq, Umar al-Fârûq, Utsmân Dzunûrain, mereka hinakan dan kafirkan
secara terang-terangan. Bahkan tersebar selebaran yang mengkafirkan sayyidah
Aisyahradhiyallâhu'anha dan para sahabat lainnya.
Mereka memasukan berbagai macam syubhat kepada kaum
muslimin lalu mulai mengklasifikasikan para sahabat menjadi yang betul-betul
sahabat Nabi dan yang munafiq. Selanjutnya dibawakan sebagian ayat-ayat
al-Qur’ân sehingga sebagian kaum muslimin yang mengikuti majelis mereka
terpengaruh dan tidak memperdulikan serta tidak lagi memakai ijmâ’ para ulama
mengenai para shahabat, yaitu semua para sahabat adalah adil.
Keempat,
mengkritik hadits-hadits. Awalnya, mereka mengkritik satu atau dua buah hadits
dalam Shahîh Bukhâri yang dinyatakan tidak sah, mustahil atau dusta. Semua
justifikasi ini berdasarkan akal dan ra’yu mereka yang jahil. Dan itulah salah
satu sifat mereka, mengkritik, membantah, dan menolak tanpa hujjah.
Oleh karena itu ahlus sunnah menyatakan bahwa bantahan
dan penolakan semata bukanlah ilmu. Ilmu adalah memberikan jawaban secara ilmiyah,
membantah secara ilmiyah dengan menegakkan hujjah yang selanjutnya
menyelesaikan permasalahan. Ini yang disebut ilmu. Adapun semata-mata menolak,
mungkin anak-anak yang telah tamyiz mampu melakukannya.
Inipun mereka lakukan secara bertahap serta membutuhkan
waktu yang cukup lama. Mereka mengkritik dan menolak hadits-hadits riwayat
Bukhâri dan Muslim. Tapi anehnya, apabila ada hadits yang menguatkan madzhab
mereka, mereka memakainya padahal mereka telah mengkafirkan Imam Bukhâri dan
Muslim !?
Kelima, memberikan
kesan bahwa bahwa Syi’ah merupakan madzhab yang kelima dalam Islam dan
perbedaan mereka adalah perbedaan furu’iyah, ijtihadiyah, ilmiyah secara global
tanpa ta’shîl (penegakan terhadap hujjah) dan tafshîl (terperinci) sehingga ini
juga mempengaruhi kaum Muslimin.
Keenam,
mendakwahkan ajaran yang sangat menarik bagi orang-orang memiliki penyakit hati
yaitu nikah mut’ah. Nikah mut’ah (kontrak) tanpa wali tanpa saksi kecuali
dengan mahar pemberian dan ada ikatan perjanjian antara kedua pihak laki dan
wanita. Biasanya dilakukan selepas majelis mereka. Mereka mengikat perjanjian
kontrak satu hari, dua hari dan seterusnya dan boleh untuk satu kali
berhubungan saja (tidak ada bedanya dengan zina). Bahkan Khomaini di sebagian
fatwanya membolehkan bermut’ah dengan pelacur !!!
Ketujuh,
berusaha menjauhkan kaum Muslimin dan memberikan kesan buruk terhadap sebuah
ajaran yang mereka benci yaitu Wahabi. Kalimat ini sering diulang-ulang, tanpa
ada penjelasan terperinci, siapa dan apa ajaran Wahabi itu. Sehingga setiap
ajaran dakwah atau yang berlawanan dengan Syi'ah dijauhi oleh kaum Muslimin.
Padahal sebenarnya, lafadz ini (Wahabi) disematkan
oleh musuh-musuh Islam kepada ajaran dakwah al-Imam Mujaddid Muhammad bin Abdul
Wahab rahimahullâh. Lalu mereka memanfaatkannya untuk menjauhkan
kaum Muslimin dari dakwah yang haq ini.
KEPADA SIAPA MEREKA MASUK ?
Sepanjang penelitian saya selama kurang lebih tiga
puluh tahun tentang mereka secara berjauhan maupun berdekatan, saya melihat
bahwa mereka memasuki semua lapisan masyarakat dengan cara-cara yang berbeda.
Berikut perinciannya :
Tingkatan Pertama; Mereka
mempegaruhi masyarakat awam dengan cara-cara yang dapat diterima oleh
orang-orang awam. Dikalangan orang-orang awam ini, mereka tidak akan mampu
mengkafirkan seluruh para sahabat karena orang-orang awam walaupun mereka
beragama dengan cara taqlid buta, mereka sangat mencintai para sahabat. Kalau
mereka langsung mengkafirkan atau mengkritik Abu Bakarradhiyallâhu'anhu,
Umar radhiyallâhu'anhu, Utsmân radhiyallâhu'anhu dan
para sahabat yang lainnya –radhiyallâhu'anhum– ditengah masyarakat awam,
tentu mereka akan ditinggalkan.
Mereka mendekati masyarakat awam dengan cara
mengkultuskan manusia atas nama ahlul bait. Bahkan mereka membuat berbagai
bait-bait syair yang mengantarkan kepada pengkultusan terhadap Nabi. Mereka
meninggikan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam lebih tinggi
dari yang telah tetapkan oleh Allâh Ta'âla, dengan cara tawassul ataupun istighatsah,
yang berujung pada syirik besar.
Dimulai dari pendekatan dengan mengatasnamakan ahlul
bait kemudian berlanjut dengan pemujaan terhadap manusia, yaitu dengan
membangun kubur-kubur dan meminta kepada penghuni kubur serta penyebaran
berbagai macam bid’ah lainnya.
Tingkatan kedua; Mendakwahi
para pelajar khususnya mahasiswa. Untuk lapisan ini, mereka masuk lewat
penyebaran nikah mut’ah karena para pemuda ini memang sangat aktif mencari
hal-hal baru untuk kemudian dicoba. Setelah memberikan kenikmatan syaithaniyah,
mereka mulai mendekati para pemuda ini dengan memberikan image (gambaran) bahwa
ajaran Syi’ah itu benar dan lain sebagainya.
Oleh karena itu tokoh-tokoh mereka mengajar diberbagai
perguruan tinggi untuk menjerat para mahasiswa yang mayoritasnya kosong dari
ajaran Islam, aqidah shahihah serta tidak gemar duduk di majelis-majelis ilmu.
Para mahasiswa ini terus didekati sampai akhirnya menjadi Rafidhah tulen dan
diharapkan menjadi kaum intelektual yang memegang pemerintahan di negeri ini.
Ini harapan mereka, Semoga Allâh Ta'âla menghancurkan
rencana buruk mereka.
Tingkatan Ketiga; Memasuki
media masa, yang cetak maupun elektronik. Melalui media-media ini, mereka
menampilkan tentang Rafidhah sedikit demi sedikit, dengan dalih sebagai
khazanah islamiyah. Stasiun televisi tidak luput dari mereka.
Namun tentunya, mereka tidak terang-terangan
membawakan ajaran mereka. Kecuali salah satu dari tokoh mereka yang pernah saya
dengar langsung dengan telinga saya dan saya lihat dengan kedua mata saya bahwa
dia mengatakan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallâhu'anhu adalah
seorang penakut (Allahu Akbar).
Orang yang hina ini telah merendahkan seorang sahabat
mulia, alim lagi ‘âbid yang dikatakan olehRasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam :
"Sebaik-baik orang adalah Abdullah Bin Umar kalau sekiranya dia shalat malam."
(HR Bukhari, no. 3738, 3739, 3740 dan 3741)
Sejak itu, Abdullah bin Umar tidak pernah meninggalkan shalat malam.
Tingkatan keempat; Mereka
memberikan pengajaran kepada kaum intelektual khususnya kepada pendukung mereka
yang saya istilahkan alumni dari orientalis. Mereka ini dididik, dijadikan anak
angkat dan disusui oleh orang-orang Yahudi di negeri-negeri Barat yang notabene
sangat membenci Islam. Mereka mendapat dukungan kuat sehingga paling tidak kaum
intelektual ini bersikap netral atau toleran, tidak mempermasalahkan antara
Sunni dengan Syi'ah.
Ini langkah pertama, langkah kedua dan selanjutnya,
mereka mulai membuat program-program yang bisa menjebak tokoh-tokoh ini kedalam
Râfidhah tulen.
Tingkatan kelima; Mendekati
para pejabat negeri yang memegang tampuk pemerintahan untuk diberikan
pelajaran-pelajaran tentang Syi’ah. Paling tidak, mereka merasa untung dan
menang kalau pejabat ini mengetahui ajaran Râfidhah, apalagi mendukungnya.
Tingkatan keenam; Masuk
ke partai politik dengan menjadi tim-tim sukses partai-partai politik.
Tingkatan ketujuh; Membuat pengajian-pengajian untuk ibu-ibu karena peran
wanita sangat penting sekali dan sangat besar sekali. Oleh karena itu mereka
membutuhkan ibu-ibu untuk mendukung ajaran mereka. Berdasarkan kenyataan ini,
saya sering mengingatkan bapak-bapak agar hati-hati dan memperhatikan pengajian
istrinya, jangan sampai istri-istri mereka terjebak dalam ajaran Syi’ah.
Barang kali ini yang bisa kita bahas sekilas tentang
perkembangan dan gerakan Syi’ah di Indonesia. Mereka membuat tipu daya, semoga
Allah menghancurkan tipu daya mereka. Dan, alhamdulillah saat ini
perkembangan dakwah sunnah sangat mengkhawatirkan mereka.
Ini merupakan taqiyah mereka karena taqiyah adalah bagian dari agama
mereka. Mereka mengatakan bahwa “Taqiyah (bohong) adalah agama kami.” Para
pembaca dapat meruju’ ke muqodimah yang sangat berharga oleh al-imam
as-salafi Muhibbudien al-Khatib dalam muqodimahnya terhadap kitab Adz Dzahabi
yang meringkas kitab gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Minhâjus Sunnah” dengan
judul al-Muntaqa’
|
|
Jangankan pemerintah
bahkan sebagian besar tokoh agama pun tidak paham
|
|
Untuk lebih
mengetahui masalah ini, para pembaca bisa meruju’ ke kitab Prof. Ihsan Ilahi
Dzhahir yang berjudul “Syiah dan Ahlul Bait”. Sebuah kitab yang sangat
menarik karya seorang alim yang mengetahui tentang ajaran Syi’ah
|
|
Para pembaca yang
terhormat dapat merujuk kepada buku ustadz Ibnu Saini yang telah menulis dan
menyingkap masalah sebenarnya tentang hal ini
|
|
Dan faktanya, kaum
Muslimin memang sangat awam sekali terhadap kitab-kitab tafsir. Oleh karena,
seyogyalah kaum Muslimin, para tokohnya, asatidzah, dan pelajar meninggikan
kitab-kitab tafsir ahlu sunnah yang berjalan diatas manhaj salafus shalih
seperti tafsir al-Imam ath-Thabari, tafsir al-Haafidz Ibnu Katsir atau kitab
tafsir sebelumnya yaitu tafsir Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
|
0 komentar:
Posting Komentar